Terasistana.id,Jakarta
Merawang, Bangka –
Hidup sederhana dijalani Ibu Suryati, seorang janda tiga anak yang tinggal di rumah warisan mertuanya di Dusun Mudel, Desa Air Anyir, Kecamatan Merawang. Dua anaknya telah berkeluarga, dan kini ia hanya tinggal bersama anak bungsunya yang masih bersekolah di SMAN 1 Merawang, Siti Nurjanah, yang baru naik ke kelas 2.
Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Ibu Suryati bekerja menyadap karet milik warga, menjaga WC milik Ibu Marini di Pantai Pukan setiap hari Minggu, dan sesekali memulung. Dari berbagai pekerjaan tersebut, penghasilan mingguannya berkisar antara Rp150 ribu hingga paling besar Rp200 ribu.
Ibu Suryati terdaftar sebagai penerima bantuan sosial Program Keluarga Harapan (PKH) sejak tahun 2022, namun tidak termasuk dalam daftar penerima Kartu Indonesia Pintar (KIP) untuk pendidikan anaknya.
Saat Siti masuk SMA, Ibu Suryati tidak memiliki cukup uang untuk membeli seragam sekolah. Ia terpaksa meminjam uang ke warga, dan kini telah melunasinya dengan cara mencicil. Dari pinjaman tersebut, ia hanya mampu membeli seragam abu-abu dan seragam olahraga, sementara seragam Pramuka dibantu oleh Ibu Marini, tempatnya bekerja menjaga WC.
Baju-baju tersebut sampai saat ini masih dipakai oleh Siti. Bahkan, menurut pengakuan Ibu Suryati, seragam putih anaknya sudah robek dan tetap digunakan ke sekolah dengan peniti/penjepit (jarum pentul) karena tidak mampu membawa ke tukang jahit, apalagi membeli yang baru.
Kini, Siti telah naik kelas dan kembali membutuhkan seragam baru. Namun Ibu Suryati mengaku bingung dan sedih, karena tidak tahu dari mana harus mendapatkan uang** untuk membeli keperluan sekolah anaknya. Kesedihannya semakin dalam ketika Siti bertanya, “Bagaimana baju putih yang sudah rusak?”, dan ia hanya bisa menjawab, “Nanti nunggu ada rezeki yaa.”
Kisah ini disampaikan langsung oleh Ibu Suryati kepada wartawan saat bertemu di warung dekat Pantai Pukan, di warung milik ibu Marini tidak jauh dari WC yang ia jaga setiap hari Minggu.
Pada Sabtu, 21 Juni 2025, Ibu Suryati menerima bantuan PKH sebesar Rp600 ribu yang diantar oleh H. Nur, Ketua RT setempat. Namun, Rp50 ribu diminta sebagai uang bensin, sehingga yang diterima hanya Rp550 ribu. Bantuan ini baru diketahui Ibu Suryati setelah mendengar kabar dari warga bahwa bantuan PKH sudah bisa diambil. Ia kemudian bertanya kepada warga lain yang lalu memberitahu H. Nur, hingga bantuan akhirnya diantar ke rumahnya.
Sampai saat ini, uang bantuan tersebut masih disimpan oleh Ibu Suryati untuk keperluan anaknya di SMA.
Tim wartawan masih berusaha menghubungi dinas-dinas terkait, termasuk bupati dan gubernur, untuk mendapatkan klarifikasi serta tanggapan atas kondisi yang dialami Ibu Suryati.
Cerita ini adalah cermin dari banyak suara yang kerap luput dari perhatian kebijakan. Ketika hak-hak dasar seperti pendidikan dan bantuan sosial belum sepenuhnya menjangkau mereka yang berhak, tanggung jawab siapa yang sebenarnya ditagih?
Ynt/Edi-BBL