Terasistana.id Jakarta — Sekretaris Jenderal Kerapatan Indonesia Tanah Air (KITA), Camelia Lubis, menyatakan dukungan penuh kepada masyarakat yang tengah memperjuangkan hak atas tanah mereka di kawasan Kebon Sayur, Jakarta Barat. Ia menegaskan bahwa negara harus hadir untuk menyelesaikan sengketa tanah tersebut secara adil dan berkeadilan.
“Republik ini adalah negara hukum. Segala penyelesaian sengketa harus dilakukan sesuai dengan aturan yang berlaku. Tidak dibenarkan menghadapi masyarakat dengan cara-cara premanisme,” tegas Camelia, Senin (17/6).
Camelia mengecam keras adanya tindakan represif aparat terhadap warga, termasuk dugaan pengerahan preman dan pasukan keamanan dalam upaya pengosongan lahan. Ia menilai, penyelesaian persoalan ini harus dilakukan secara dialogis, bukan dengan intimidasi.
“Kami mengutuk keras tindakan oknum-oknum yang menggunakan kekerasan terhadap masyarakat. Negara harus hadir melindungi dan mencintai rakyatnya, bukan justru menakut-nakuti,” ujarnya.
Di tempat terpisah, Pius Situmorang SH selaku kuasa hukum warga, mengungkapkan bahwa sengketa lahan tersebut telah berlangsung lama. Lahan seluas 21 hektare itu telah ditempati masyarakat selama puluhan tahun, bahkan ada yang tinggal di sana lebih dari 30 tahun.
Namun, belakangan muncul klaim kepemilikan atas tanah itu oleh seorang bernama Herawati, yang disebut memiliki putusan hukum tetap (inkrah) dari pengadilan. Pius Situmorang SH menyebut proses eksekusi yang dilakukan pihak Herawati tidak melalui jalur hukum yang sah.
“Eksekusi itu dilakukan secara sepihak, bahkan melibatkan kelompok preman untuk mengosongkan lahan. Ada alat berat yang diturunkan, rumah warga sempat dirusak, dan bentrok pun terjadi,” jelas Pius.
Menurutnya, sekitar dua minggu lalu sempat terjadi pengerahan 500 personel Brimob untuk melakukan pengosongan, tetapi berhasil ditolak oleh warga. Kini beredar isu bahwa ada kabar akan ada pengukuran lahan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) dengan rencana pengawalan aparar personel Brimob.
Pius juga menyoroti adanya upaya kriminalisasi terhadap tokoh2 masyarakat setempat, termasuk ketua RT yang kini menghadapi berbagai tuduhan pidana. Ia menduga langkah tersebut merupakan upaya membungkam perjuangan masyarakat.
“Ini bentuk kriminalisasi untuk melemahkan perjuangan warga. Mereka bukan kriminal, mereka hanya menuntut haknya atas tanah yang telah mereka tempati puluhan tahun,” tambahnya.
Lebih lanjut, Pius mengungkapkan janganlah perseoalan konflik2 tanah dimasyarakat dialihkan kepada pelaporan pelaporan pidana, justru tidak akan pernah menyelesaikan konflik tenahnya, bahkan justru melukai rasa keadilan bagi masyarakat, negara harus berpihak pada keadilan, adanya isu2 yang diduga keterlibatan oknum2 mafia tanah, ini harus dituntaskan oleh negara.
Kasus ini menyoroti persoalan klasik agraria di Indonesia, khususnya di wilayah perkotaan yang rawan sengketa akibat tumpang tindih kepemilikan lahan dan lemahnya administrasi pertanahan.