Terasistana.id Jakarta — Sekretaris Jenderal Kerapatan Indonesia Tanah Air (KITA), Camelia Panduwinata Lubis, menyatakan dukungannya kepada Provinsi Aceh terkait polemik kepemilikan sejumlah pulau di perbatasan Aceh-Sumatera Utara. Camelia menegaskan bahwa Pulau Mangkir Gadang dan Pulau Mangkir Ketek secara historis merupakan bagian dari wilayah Aceh Singkil.
“Berikan pulau tersebut kepada pemiliknya. Jangan mentang-mentang dekat dengan kekuasaan, semuanya harus dicaplok. Aceh adalah pemilik sahnya, lihat sejarah Aceh,” tegas Camelia, dalam pernyataannya kepada media, Minggu (15/6).
Camelia juga mengingatkan Gubernur Sumatera Utara, Bobby Nasution, agar tidak mengambil langkah-langkah yang dapat memperkeruh suasana politik nasional, apalagi menjelang pemerintahan Presiden terpilih Prabowo Subianto.
“Jangan sampai justru merusak nama baiknya atau membuat gaduh dalam pemerintahan Prabowo,” tambahnya.
Polemik kepemilikan empat pulau, yakni Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek mencuat setelah Bobby Nasution menyampaikan niat untuk mengajak Gubernur Aceh, Muzakir Manaf, agar pulau-pulau tersebut dikelola bersama oleh kedua provinsi.
Menanggapi hal itu, Wakil Presiden ke-10 dan 12 RI, Jusuf Kalla (JK), turut angkat bicara. Ia menegaskan bahwa tidak ada satu daerah pun di Indonesia yang dikelola bersama oleh dua provinsi.
“Secara historis, pulau-pulau itu memang masuk wilayah Aceh Singkil. Itu harga diri bagi Aceh. Kenapa harus diambil? Ini juga menyangkut masalah kepercayaan kepada pemerintah pusat,” ujar JK.
JK juga mengingatkan pemerintah agar persoalan ini diselesaikan secara arif dengan mengacu pada sejarah serta regulasi yang berlaku. Ia menyebutkan pentingnya mengkaji kembali Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 terkait pembentukan Provinsi Aceh dan Sumatera Utara.
“Keputusan menteri tidak bisa mengubah undang-undang. Meskipun undang-undangnya mungkin tidak menyebutkan nama pulau itu, tapi secara historis wilayah itu milik Aceh,” tegasnya.
JK berharap persoalan ini tidak diperbesar, apalagi mengingat wilayah yang dipersoalkan bukan merupakan kawasan dengan potensi sumber daya alam strategis.
“Di situ tidak ada minyak, tidak ada gas. Ya mungkin saja nanti ada, tapi sekarang tidak ada. Jangan sampai masalah kecil menjadi besar,” pungkasnya.