Terasistana.id Jakarta – Permasalahan menahun terkait Truk Over Dimension Over Loading (ODOL) menjadi isu kompleks di Indonesia yang belum terselesaikan hingga saat ini. Hal tersebut karena melibatkan dimensi keselamatan jalan, kerusakan infrastruktur, perlindungan dan kesejahteraan tenaga kerja.
Pemerintah, melalui kebijakan “Zero ODOL” yang direncanakan berlaku penuh pada 2026, menyoroti truk ODOL sebagai penyebab kerugian negara hingga Rp 41-43,45 triliun per tahun untuk perbaikan jalan, penyumbang 10,5% kecelakaan lalu lintas, dan pelanggaran yang dapat dipidana berdasarkan UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ).
Namun, framing ini justru menyudutkan sopir truk sebagai pihak utama yang bertanggung jawab, padahal mereka berada di posisi terlemah dalam rantai logistik yang menjadi korban kriminalisasi dan eksploitasi akibat kebijakan yang menyasar mereka tanpa menyelesaikan akar masalah di hulu, seperti tarif rendah, modifikasi kendaraan oleh pengusaha, dan pungli maupun premanisme di jalan yang berlangsung selama ini.
“Hal inilah yang kemudian menimbulkan gelombang resistensi di lapangan, khususnya dari para sopir truk. Protes sepanjang 19-23 Juni 2025, seperti di Semarang (9,1 km kemacetan), Surabaya, dan Bandung, menunjukkan dimensi psikologis sopir yang ditunjukan dengan spanduk “Sopir Bukan Kriminal” mencerminkan perasaan dizalimi.
Demonstrasi yang sudah berlangsung di berbagai daerah akan terus berlanjut di kota lain, salah satunya di Jakarta pada awal bulan Juli mendatang. Tentu, demonstrasi ini bukan hanya berdampak pada berkurangnya pemasukan para sopir Truk, namun dampaknya sudah mulai terlihat dari kenaikan sejumlah bahan pokok di berbagai daerah,” kata
Departemen Kajian LBH DPP K-Sarbumusi, Brahma Aryana, Jumat (27/6/2025)
Kendatipun demikian, demontrasi yang dilakukan oleh sopir truk bukan karena sopir menolak arah kebijakan Zero ODOL, melainkan karena respons pemerintah yang menyudutkan sopir sebagai aktor utama pelanggaran ODOL, tanpa menyentuh akar persoalan struktural dalam sistem logistik nasional. Kebijakan ini dinilai belum menyentuh aspek tarif logistik, tidak menyasar pelaku dominan seperti pemilik barang/operator, serta tidak memberikan jaminan transisi atau perlindungan kerja bagi sopir yang terdampak.
Alih-alih memperkuat sistem logistik, pendekatan reaktif ini justru menciptakan kegaduhan baru, seperti yang berlangsung saat ini. LBH Sarbumusi menilai, framing yang telah menyudutkan sopir truk ini tidak hanya menyederhanakan persoalan secara keliru, tetapi juga mengalihkan perhatian publik dari akar permasalahan struktural yang selama ini dibiarkan tanpa koreksi.
“Sikap seperti ini bukan hanya tidak solutif, tapi juga berbahaya karena berpotensi memecah belah solidaritas sosial terhadap jutaan pekerja logistik yang menopang kebutuhan dasar masyarakat setiap harinya,” ucap Aryana.
Faktor Pencetus Maraknya Praktek ODOL
Problematika truk ODOL di Indonesia merupakan isu struktural yang melibatkan tekanan ekonomi, regulasi yang tidak memadai, dan ketimpangan penegakan hukum. Berikut catatan kami terhadap kondisi pokok dan faktor pencetus praktek ODOL:
Pertama, upah rendah dan tekanan ekonomi para pengemudi: Posisi Sopir truk yang berada di ujung rantai logistik, tanpa kuasa menentukan muatan atau dimensi kendaraan. Pengusaha logistik dan pemilik barang mendorong ODOL untuk memaksimalkan efisiensi biaya dengan mengurangi jumlah perjalanan.
“Kondisi tersebut kian diperparah dengan tarif angkut yang rendah dan tidak adanya regulasi yang mengatur tarif logistik menyebabkan ‘perang tarif’ yang merugikan pengemudi. Selain itu, pengemudi seringkali hanya pelaksana perintah dari pemilik barang atau perusahaan yang menuntut mereka membawa muatan berlebih untuk memenuhi target pengiriman dan memaksimalkan keuntungan,” tutur Aryana.
Dengan adanya keberadaan Pasal 184 UU LLAJ inilah yang kemudian menyebabkan rendahnya upah yang didapatkan oleh sopir truk, sebab tarif angkutan barang ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pengguna jasa dan perusahaan angkutan umum. Pasal diskriminatif tersebut berbeda dengan angkutan umum yang memiliki tarif dasar ditetapkan oleh pemerintah, dengan batas bawah dan atas. Sehingga, masih banyak kami temukan upah sopir truk sebulan rata-rata hanya berkisar Rp 1.5 juta – 2.5 juta, sementara beban/resiko kerja yang diemban masih jauh dari standar kelayakan.
Kedua, keterbatasan armada dan modifikasi kendaraan: Kami menemukan banyak perusahaan logistik yang memiliki armada terbatas, sehingga truk dimodifikasi (over dimension) oleh karoseri atau pemilik untuk membawa muatan lebih banyak. Pada kondisi tersebut, sopir tidak memiliki kendali atas modifikasi ini, tetapi mereka yang s risiko hukum saat razia dilakukan;
Ketiga, perlakuan hukum yang timpang: Sopir seringkali dihadapkan pada posisi yang paling disudutkan dan dikriminalisasi, sementara pemilik barang dan perusahaan besar seringkali luput dari pertanggungjawaban.
“Meskipun terdapat regulasi yang jelas, pengemudi truk merasa disudutkan dan dikriminalisasi. Protes pengemudi yang akan terus berlangsung di berbagai daerah menunjukkan keberatan mereka terhadap sanksi pidana yang dinilai memberatkan. Terlebih, beberapa Polda bahkan belum memberlakukan sanksi pidana untuk truk ODOL sebagai respons terhadap protes ini.
Hal ini mengindikasikan adanya ketidakseimbangan dalam penegakan hukum yang lebih banyak menargetkan pengemudi dibandingkan pihak lain dalam rantai pasok logistik,” sebut Aryana.
Keempat, minimnya perlindungan bagi sopir: Sopir tidak memiliki jaminan sosial, asuransi, atau perlindungan hukum yang memadai. Maraknya premanisme dan pungli di jalan juga tidak dapat diatasi dan tidak ditangani serius oleh pemerintah, sehingga memperburuk dimensi terhadap eksploitasi yang dialami para sopir.
Maraknya pungli yang dihadapi sopir di jalan juga kian menambah beban finansial dan mendorong sopir untuk menerima muatan berlebih demi menutupi kerugian.
Terhadap hal demikian, masalah ODOL seharusnya dibaca sebagai panggilan untuk mereformasi sistem logistik nasional—bukan sekadar momentum untuk menertibkan jalan raya semata. ODOL bukan soal kemauan dari para sopir truk, melainkan soal ketidakmampuan negara membenahi tata kelola sektor logistiknya.
“Upaya pemerintah untuk menginisiasi Peraturan Presiden (Perpres) dan pembentukan Surat Keputusan Bersama (SKB) antarkementerian sebagai jalan keluar patut diapresiasi. Namun, dalam praktiknya, respons-respons seperti pernyataan pidana yang menyudutkan sopir seperti pelaku kriminal (framing tunggal) dalam media—justru menciptakan kanalisasi opini publik yang menjerumuskan para sopir truk,” tutup Aryana.